Jumat, 15 Februari 2013
SAKRAMEN
09.12
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam
Gereja katolik terdapat tujuh sakramen yang mana dipahami sebagia tanda
yang terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang
dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana
yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang diterimakan,
yang membantu pribadi penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan
berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian.
Tetapi
sering kali umat katolik mengabaikan akan pentingnya sakramen dalam
kehidupannya. Orang merasa biasa-biasa saja ketika menerima sakramen.
Bahkan, ada yang menganggap sakramen sebagai sesuatu yang sifat
fomalitas saja, sebagai bentuk kewajiban dari umat dalam menjalankan
ritual keagamaan. Mereka tidak menyadari akan pentingnya sakramen dalam
hidup seiring dengan minimnya pengetahuan tentang sakramen dalam Gereja
katolik.
Sakramen
adalah suatu yang suci sebagai tanda nyata kehadiran Sang Kristus
ketengah umatnya. Kehadiran kristus sesungguhnya menjadi momen yang
penting buat kita, sebab disaat itulah kita mersakan ketenangan batin.
Kita percaya bahwa kristus adalah sang pembawa damai bagi kita semua.
Karena itu kita harus yakin bahwa kristus sungguh hadir dalam setiap
sakramen yang kita terima.
Gereja katolik mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu ada ex opera operto
(oleh kenyataan bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan
kekudusan pribadi pelayan yang melayankannya, kurang layaknya kondisi
penerima untuk menerima rahamat yang dianugerahkan tersebut dapat
menghalangi efektivitas sakramen itu bagi yang bersangkutan, sakramen
memrlukan adanya iman, meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya,
menyuburkan, menguatkan, dan member ekspresi bagi iman (Kompedium
Katekismus Gereja Katolik,224). Karena itu dalam makala ini penulis
mengangkat tulisan tentang sakramen dalam gereja katolik.
2.2. Tujuan Penulisan
2.2.1. Tujuan Umum
1. agar pembaca memahami pentingnya sakramen bagi kehidupan umat katolik.
2. agar pembaca yang non katolik bisa mengetahui tentang sakramen yang ada dalam gereje katolik.
3.agar kita sebagai umat katolik mengetahui secara lebih dalam mengenai pelaksaan sakramen dalam gereja katolik.
2.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dari tulisan ini adalah untuk memenuhi tugas matakulia agama
Katolik sekaligus melatih tanggung jawab dari penulis dalam mengikuti
proses perkualahan.
2.3. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sakramen dalam gereja katolik?
2. Apa-apa saja yang termasuk sakramen dalam gerja katolik?
3. Apa manfaat dari sakramen bagi umat katolik?
4. Siapakah yang menciptakan sakramen?
2.4. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagai dalam tiga pokok pembahasan, yaitu:
BAB I. PENDAHULUAN, yang berisikan latar belakang penulisan, tujuan dari penulisan, rumusan masalah serta sistematika penulisan.
BAB
II. PEMBAHASAN, yang berisikan tentang pokok pembahasan tulisan ini ,
seperti: sakramen selayang pandang, Validitas dan Keabsahanya Pelayanan
Sakramen-Sakramen, Apa Pentingnya Sakremen Dalam Kehidupan Kita, Mengapa Tuhan Mendirikan Sakramen, Mengapa Harus Ada Tujuh Sakaramen Dalam Gereja Katolik, Siapa yang Menciptakan sakramen, Akibat utama yang dihasilkan oleh sakramen, Dasar biblis sakramen-sakramen dalam Gereja katolik, Istilah-Istilah dalam Sakramen.
BAB III. PENUTUP, yang berisikan tentang kesimpulan dari tusan dan saran dari penulis untuk semua pembaca.
KATA PENGANTARA
Puji
dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
atas berkat dan perlindungan-Nya, penulis dapat menyelesaiakan tulisan
ini tepat waktu sesuai dengan harapan awal. Tulisan ini merupakan sebuah
hasil usaha keras dari penulis yang mana semuanya merupakan restu dari
yang maha kuasa. Pujian dan syukur ini sebagai bentuk kebanggan buat
penulis dalam menyelasaikan tulisan ini.
Sebagai penyempurna kebanggan itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berupaya membantu penulis dalam
menyempurnakan tulisan ini. Hanya ucapan terimakasi yang bias
penulis sampaikan, sekiranya apa yang telah diberikan oleh
saudara-saudari baik itu ide maupun dukungan dalam bentuk lain dapat
bermaanfaat bagi penulis untuk saat sekarang maupun masa depan terutama
dalam hal membuat tulisan serupa.
Tak ada gading yang tak retak.
Mungkin kata-kata itu yang ingin disampaikan pula pada kesempatan ini.
Penulis menyadari akan berbagai kekurang yang ada dalam tulisan ini.
Penulis berharap agar kita semua memberikan masukan atau kritikan yang
dapat membangun bagi penulis sendiri. Kritikan dan masukan itu penulis
terima secara lapang dada dan secara ikhlas kami mengucapkan trimakasih
atas semuanya itu.
Penulis
pun berharap semoga tulisan ini, bermaanfaat bagi kita semua, terutama
kita sebagai kaum kristiani. Bermanfaatnya tulisan ini merupakan
kebanggan tersendiri bagi penulis.
Malang, januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………….(i)
KATA PENGATAR…………..(ii)
DAFTAR ISI………………………………………………………….(iii,iv)
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………….(1)
1.1.Latar Belakang………………………………………………….(1)
1.2.Tujuan Penulisan…………………………………………….…(1)
1.2.1. Tujuan Umum………………………………………...(2)
1.2.2. Tujuan Khusus………………………………………..(2)
1.3.Rumusan masalah……………………………………………..(2)
1.4. Sistematika Penulisan………………
BAB II. PEMBAHASAN……………(3)
2.1. Sakramen Selayang Pandang……………………………………(3,4)
2.1.1. Pengertian Sakramen…………………………………….(5).
2.1.2. Jenis-Jenis Sakramen dalam Gereja Katolik…………….(5)
2.2. Validitas dan keabsahanya pelayanan sakramen-sakramen……………………………………………………………..(6,7)
2.3. Apa pentingnya sakramen dalam kehidupan kita…………………………………………………………………….(8)
2.4. Mengapa tuhan mendirikan sakramen…………………………..(9)
2.5. Mengapa harus ada tujuh sakramen
dalam gereja katolik…………………………………………….(10,11)
2.6. Siapa yang menciptakan sakramen……………………………..(12)
2.7. Akibat utama yang dihasilkan
oleh sakramen…………………………………………………...(13,14)
2.8. Dasar biblis sakramen-sakramen
dalam gereja katolik……………………………………………(15).
2.9.Iistilah-istilah dalam sakramen…………………………………(16)
2.9.1 Sacramentum tantum, res et sacramentum dan res tantum….(17)
2.9.2. Ex opera operato dan ex opere operantis…………………..(18)
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan…………………………………………………………(19)
3.2. Saran………………………………………………………………...(20)
BAB II
SAKRAMEN
2.1. Sakramen Selayang Pandang
2.1.1. pengertian sakramen
Sakramen berasal dari kata ‘mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan ’sacramentum’ (Latin). Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen sebagai misteri/ ‘mysterium‘
kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai “rahasia yang tersembunyi dari
abad ke abad tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang
kudus-Nya” (Kol 1: 26, Rom 16:25). Rahasia/ ‘misteri’ keselamatan ini tak lain dan tak bukan adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27). Jadi sakramen-sakramen
Gereja merupakan tanda yang kelihatan dari rahasia/ misteri Kristus
-yang tak kelihatan- yang bekerja di dalam Gereja-Nya oleh kuasa Roh
Kudus. Betapa nyatanya ‘rahasia’ ini diungkapkan di dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama di dalam Ekaristi.
Mengacu pada pengertian ini, maka Gereja sendiri adalah “Sakramen Keselamatan”
yang menjadi tanda rahmat Allah dan sarana yang mempersatukan Allah dan
manusia. Sebagaimana Yesus yang mengambil rupa manusia menjadi
“Sakramen” dari Allah sendiri, maka Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi
“Sakramen” Kristus. Artinya, di dalam Gereja, kuasa ilahi yang membawa kita kepada keselamatan bekerja melalui tanda yang kelihatan.
Di dalam perannya sebagai “Sakramen Keselamatan” inilah, Gereja dipercaya oleh Kristus untuk membagikan rahmat Tuhan di dalam ketujuh sakramen. Jadi sakramen tidaklah hanya sebagai tanda atau lambang, tetapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu sendiri, yaitu rahmat pengudusan untuk keselamatan kita. sehingga Gereja mengajarkan bahwa dengan mengambil bagian di dalam sakramen, kita diselamatkan, karena melalui Kristus, kita dipersatukan dengan Allah sendiri.
Ketujuh sakramen ini menjadi tanda akan sesuatu yang terjadi sekarang, sesuatu yang terjadi di masa lampau, dan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jadi semua sakramen
tidak hanya membawa rahmat pengudusan (sekarang), namun juga
menghadirkan Misteri Paska Kristus (lampau) yang menjadi sumber
kekudusan, dan menjadi gambaran akan kebahagiaan surgawi sebagai akhir
dari pengudusan kita (yang akan datang). Dengan berpartisipasi di dalam sakramen
inilah kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi yang tidak
mengenal batas waktu; di dalam kehidupan Kristus yang mengatasi segala
sesuatu.
2.1.2 Jenis-Jenis Sakramen dalam Gereja Katolik
2.1.2.1. Sakramen Inisiasi
A. Sakramen Pembabtisan
Pembaptisan
adalah sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen
ini dilayankan dengan cara menyelamkan si penerima ke dalam air atau
dengan mencurahkan (tidak sekedar memercikkan) air ke atas kepala si
penerima "dalam nama Bapa
dan Putra dan Roh kudus" (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini biasanya
seorang uskup atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun tidak demikian
halnya dalam Gereja Timur) seorang diakon.
Dalam
keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang
dilakukan Gereja, bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani,
dapat membaptis.
Pembaptisan
membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan
dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis
itu mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat
yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi yang
bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya).
Pembaptisan
juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan
merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Pembaptisan
menganugerahkan kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan
kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya
dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen
telah menjadi milik Kristus.
Buah Atau Rahmat Sakramen Baptis:
1. mendapat pengampunan dari segala dosa, baik dosa asal maupun dosa yang dibuatnya.
2. menjadi “ciptaan baru” dan dilantik menjadi anak Allah.
3. memperoleh
rahmat pengudusan yang: a).membuatnya sanggup semakin percaya kepada
Allah, berharap kepada-Nya, dan mencintai-Nya.b). Membuatnya hidup di
bawah bimbingan dan dorongan Roh Kudus.c) Membuatnya sanggup bertumbuh
dalam kebaikan
4. digabungkan menjadi anggota Gereja, sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus
5. dimeteraikan secara kekal dalam sebuah meterai rohani yang tak terhapuskan, sebagai bagian dari Kristus
Macam-Macam Baptisan
1. Baptisan bayi : baptisan yang diterima saat masih bayi
2. Baptisan dewasa: baptisan yang diterima saat sudah dewasa
3. Baptisan
rindu: saat seseorang ingin dibaptis dan ingin menjadi anggota Gereja
Katolik, menjalani masa katekumenat namun sebelum dibaptis, ia sudah
meninggal. Maka ia sudah menerima baptisan rindu
4. Baptisan
darah: saat seseorang ingin dibaptis dan ingin menjadi anggota Gereja
Katolik, menjalani masa katekumenat namun sebelum dibaptis, ia sudah
meninggal karena membela imannya
B. Sakramen Penguatan
Penguatan
atau Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen
ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak
yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai
doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun
Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai.
Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan
"diperkuat dan diperdalam" (KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan
hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak
(artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum
diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut.
Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter)
melayankan sakramen ini — sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti
pembabtisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam
Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di
atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih
atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini
dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi
biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti
pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal
kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima
sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama
kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini,
yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
rikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah
dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa
khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya,
karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai.
Melalui
sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan
diperdalam" (KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima
satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari
dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat
menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang
uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter)
melayankan sakramen ini — sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti
pembabtisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam
Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di
atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron)
yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada
hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera
sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi biasanya
dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya,
sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan;
biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen
Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian
dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni
diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
Rahmat Dalam Sakramen Krisma
1) Menjadikan kita sungguh anak Allah
2) Menyatukan lebih teguh dengan Kristus
3) Menambahkan karunia Roh Kudus ke dalam diri kita
4) Mengikat kita lebih sempurna dengan Gereja
5) Menganugerahkan kepada kita kekuatan Roh Kudus
C. Sakramen Ekaristi
Ekaristi adalah sakramen (yang kedua dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus
serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Aspek pertama dari
sakramen ini (yakni mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus)
disebut pula Komuni Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan
yang tidak diberi ragi dalam ritus Latin, Armenia dan Ethiopa, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus
Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali
wujudnya yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini
disebut transubstansiasi.
Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi,
dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam
biasanya adalah pelayan Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang
dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa Komuni Suci.
Ekaristi
dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan
pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan
tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap
Allah, serta sebagai suatu titik dimana umat beriman terhubung dengan
liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi
dalam perayaan Ekaristi (Misa)
dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya
khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi
umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang
layak, menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai
kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.
2.1.2.2. Sakramen Penyembuhan
A. Sakramen Rekonsiliasi
Sakramen
rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan
juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen
Pengampunan(KGK 1423–1424). Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan
rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah
karena telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan
si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus
rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja
secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa
kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk
melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan
penyilihan.
"Banyak
dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa
yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi
(misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik
seseorang yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang
telah dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan
tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri, serta
hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa
tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan
lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih
bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini
juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad Kekristenan,
unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun
sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus
dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan
sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam
yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh
dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor
(pendengar pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk
alasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon
983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak
meterai sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman
pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).
B. Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan
Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini
seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati
untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap
umat beriman yang, karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai
berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004;
KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi
kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh
seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat,
sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam
sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang
dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus-Ritus
Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat
tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka
minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya
penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan [[Ekaristi[[, yang bilamana
dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".
2.1.2.3. Sakramen Panggilan
A. Sakramen Imamat
Imamat
atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan
uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan
sebagai citra Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini.
Pentahbisan
seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat
baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan
memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai
kepedulian dari semua Gereja.
Pentahbisan
seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala
Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai
asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan
kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan
seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku
Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang
bersangkutan, khususnya pada Kegiatan Gereja dalam mengamalkan
cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman
Allah.
Orang-orang
yang berkeinginan menajdi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032
dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang
selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup
suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat,
pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses
pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan sebagai diakon permanen
diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
B. Sakramen Pernikahan
Pernikahan
atau perkawinan, seperti Imamat, adalah suatu sakramen yang
mengkonsekrasi penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan
Gereja, serta menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut.
Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang
menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan
suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan
oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang
sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki
secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat
diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis Justru karena ketegaran
hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal
dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Ketika mereka sudah di rumah,
murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu
kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin
dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.
Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki
lain, ia berbuat zinah." (mrk. 10:1–12)
Sakramen
ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang
mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan
mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan
penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan
imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi
lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang melayankan
sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.
Demi
kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus
mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan)
masing-masing untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa
memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud
perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang Kristen
non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah
memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika
salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum
dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya
pernikahan.
2.2. Validitas dan Keabsahanya Pelayanan Sakramen-Sakramen
Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato
(oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena
Kristus sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas
sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
Meskipun
demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid,
jika orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang
diperlukan untuk itu, misalnya jika seorang diakon merayakan Misa.
Sakramen-sakramen juga invalid jika "materi" atau "formula"nya kurang
sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material yang
dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau
roti dari tepung gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang
dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang nampak. Formula adalah
pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi, seperti (dalam Gereja
Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh
Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa
aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka sakramen tersebut
invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun
1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah
sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu
syarat yang diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada
misalnya pelayanan sakramen oleh seorang imam yang tengah dikenai
hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan pentahbisan uskup tanpa mandat
dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta)
untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan. Halangan-halangan
sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal keabsahannya,
tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat menjadikan
seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu
janji pernikahan" (kanon 1073).
Dalam
Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan
pernyataan bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu
pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk menetapkan bagi
orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan (kanon
1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat
bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas
dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat
janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam
paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi
(kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan,
tetapi sama saja efeknya.
Ada
tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan
Imamat: efeknya bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di
Barat dengan citra-citra dari karakter atau tanda, dan di Timur dengan
sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai
validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut,
maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen
misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …"
2.3. Apa Pentingnya Sakremen Dalam Kehidupan Kita?
Banyak
orang berpikir bahwa iman itu hanya menyangkut kerohanian, dan tidak
ada sangkut pautnya dengan hal jasmani. Namun sesungguhnya tidak
demikian, karena manusia diciptakan Allah terdiri dari jiwa dan tubuh.
Jadi apa yang kita imani selayaknya memancar keluar melalui sikap
tubuh, dan sebaliknya apa yang terlihat dari luar mencerminkan apa yang
kita imani di dalam hati. Hal ini yang mendasari bahwa segala yang
menyangkut manusia selalu menyangkut dua hal: tubuh dan jiwa, jasmani
dan rohani, dan kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia.
Prinsip
kedua adalah kemurahan hati Allah yang mengangkat kita dari
ketidakberdayaan kita sebagai manusia, agar kita dapat memahami dan
mengingini hal-hal ilahi, karena untuk itulah kita diciptakan dan ke
sanalah hidup kita akan berakhir. Rahmat Ilahi ini hanya datang dari
Allah, dan kita memperolehnya lewat sakramen -sakramen. Sakramen
mengubah kita secara rohani: kita diangkat menjadi ilahi, agar dapat
dibentuk oleh Allah menjadi semakin serupa dengan DiriNya.
Prinsip ‘jiwa dan tubuh’, ‘grace and nature’
Prinsip ‘tubuh dan jiwa’ ini yang mendasasri adanya sakramen di dalam Gereja. Gereja yang dijiwai oleh Roh Kristus, juga terdiri dari ‘Tubuh’ yang kelihatan, yaitu umat yang dipimpin oleh para pemimpin Gereja. Selanjutnya, rahmat Tuhan yang dicurahkan di dalam Gereja dapat juga dirasakan secara jasmani di dalam sakramen-sakramen. Karenanya Gereja mempunyai aspek Ilahi dan manusiawi, rohani dan jasmani, yang tak kelihatan dan yang kelihatan, dan semuanya itu dipersatukan di dalam misteri Kristus. Di dalam Kristuslah segala sesuatu diperdamaikan, dipersatukan dan disempurnakan (lih. Kol 1:19-22).
Jadi
Allah tidak mungkin merendahkan tubuh, namun menyempurnakan dan
memuliakannya untuk dipersatukan dengan jiwa, sebab Ia-lah yang
menjadikan keduanya pada awal mula penciptaan dengan sangat baik adanya
(Kej 2:31). “Rahmat tidak menghancurkan segala yang bersifat material
/lahiriah, melainkan menyempurnakannya (grace does not destroy nature but perfects it),”
kata St. Thomas Aquinas. Maka walaupun dosa memang telah ‘mencemari’
tubuh, namun tidak menjadikannya sama sekali tidak bernilai, karena
kuasa dosa tidak mungkin lebih besar dari kuasa Allah. Allah mencurahkan
rahmat-Nya untuk mengembalikan tubuh kepada keadaan asalnya. Karena
itu, sudah menjadi kehendak Allah bahwa segala rahmat ilahi dapat
dialami dan dirasakan oleh tubuh, supaya oleh rahmat-Nya kita dipulihkan
dari akibat dosa, dan tubuh kita ‘diangkat’ sehingga bernilai ilahi.
Jadi walaupun rahmat Allah itu pertama-tama bersifat rohani, namun
rahmat itu tidak mengabaikan segala yang bersifat lahiriah. Jangan kita
lupa, Allah adalah Tuhan atas segala sesuatu dan adalah hak Tuhan untuk
menyampaikan rahmatNya melalui perantaraan benda-benda ciptaanNya untuk
menyembuhkan, menguduskan dan membentuk kita menjadi tempat kediaman dan
Bait Kudus-Nya (1 Kor 3:16).
Janganlah
kita lupa, bahwa karena akibat dosa asal, terdapat jurang yang tak
terpisahkan antara Tuhan Pencipta dan manusia yang diciptakanNya. Kita
manusia hanya dapat ‘terangkat’ dari jurang melalui jasa Kristus
Penyelamat kita. Jasa Kristus itu secara nyata kita peroleh lewat sakramen-sakramen,
yang memang disediakan Tuhan untuk mengangkat kita agar dapat mengambil
bagian dalam kehidupan Ilahi seperti yang menjadi rencana-Nya sejak
semula. Maka jika Tuhan menghendaki agar kita hidup kudus, dan bertumbuh
dalam kasih, hal itu bukannya ‘asal perintah’
saja, sebab, Tuhan sendiri menyediakan jalan untuk menuju ke sana.
Allah mengetahui bahwa dengan mengandalkan kemampuan sendiri, kita tidak
akan dapat menjadi kudus dan memiliki kasih sejati; oleh karena itu, Ia
memberikan rahmat-Nya, melalui sakramen-sakramen, sebagai suatu tanda
sederhana yang dapat kita rasakan melalui tubuh kita, namun menghasilkan
efek luar biasa di dalam jiwa kita. Kita dibentuk oleh Allah untuk
menjadi bagian dari DiriNya sendiri. DiberikanNya pada kita kehidupan
IlahiNya, supaya kita dapat bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih.
Oleh rahmat ini kita dapat menjalin persahabatan dengan Tuhan, dan
sedikit demi sedikit, kita bertumbuh sebagai gambaran Allah sendiri.
2.4. Mengapa Tuhan Mendirikan Sakramen?
Alasan pertama yaitu karena keterbatasan pemikiran manusia
yang memahami sesuatu menurut perantaraan benda-benda yang kelihatan.
Keterbatasan manusia ini yang menyebabkan adanya “sunat” untuk menandai
perjanjian Allah dengan umat Israel pada Perjanjian Lama, yang
disempurnakan menjadi Pembaptisan di dalam Perjanjian Baru.
Kedua, karena pemikiran manusia selalu menginginkan tanda
sebagai pemenuhan janji. Kita melihat dalam masa Perjanjian Lama
bagaimana Allah memberikan tanda-tanda yang menyertai bangsa Israel
sampai ke Tanah Terjanji. Hal yang sama diberikan di dalam Perjanjian
Baru yang merupakan pemenuhan dari Perjanjian Lama.
Ketiga, sakramen menjadi sesuatu yang selalu ada sebagai ‘obat’ rohani
demi kesembuhan jiwa dan raga. Hal ini dapat kita lihat pada saat Yesus
menyembuhkan orang buta dengan ludahNya yang dicampur dengan tanah (Yoh
9:6). Yesus sendiri menggunakan ‘benda perantara’ untuk menyampaikan
rahmat penyembuhan-Nya. Dengan menerima sakramen, kita seumpama wanita
perdarahan yang disembuhkan dengan menyentuh jubah Yesus (Mrk 5:25-34).
Ke-empat, sakramen adalah tanda/ lambang yang menandai umat beriman.
Dan yang terakhir, sakramen merupakan perwujudan iman, “karena dengan hati orang percaya dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Iman ini mendasari kebajikan Ilahi yang lain yaitu pengharapan dan kasih, dan ketiga hal ini menghantarkan kita kepada kekudusan, yaitu hal yang diinginkan Allah pada kita. Melalui sakramen kita mengambil bagian dalam hidup Ilahi, sehingga di akhir hidup kita nanti, kita dapat sungguh bersatu dengan Tuhan dalam keabadian surga.
Dan yang terakhir, sakramen merupakan perwujudan iman, “karena dengan hati orang percaya dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Iman ini mendasari kebajikan Ilahi yang lain yaitu pengharapan dan kasih, dan ketiga hal ini menghantarkan kita kepada kekudusan, yaitu hal yang diinginkan Allah pada kita. Melalui sakramen kita mengambil bagian dalam hidup Ilahi, sehingga di akhir hidup kita nanti, kita dapat sungguh bersatu dengan Tuhan dalam keabadian surga.
2.5. Mengapa Harus Ada Tujuh Sakaramen Dalam Gereja Katolik?
Mungkin
ada orang bertanya, mengapa ada tujuh sakramen? Alasannya adalah karena
terdapat hubungan yang erat antara kehidupan rohani dan jasmani. Secara
jasmani ada tujuh tahap penting kehidupan: kita lahir, tumbuh menjadi dewasa karena makan. Jika sakit kita berobat, dan di dalam hidup kita dapat memilih untuk tidak menikah atau menikah. Lalu setelah selesai menjalani hidup, kita meninggal dunia. Nah, sekarang mari kita lihat bagaimana sakramen menguduskan tahap-tahap tersebut di dalam kerohanian kita.
Kelahiran kita secara rohani ditandai dengan sakramen Pembaptisan,
di mana kita dilahirkan kembali di dalam air dan Roh (Yoh 3:5), yaitu
di dalam Kristus sendiri. Kita diteguhkan oleh Roh Kudus dan menjadi
dewasa dalam iman melalui sakramen Penguatan (Kis 1:5). Kita bertumbuh karena mengambil bagian dalam sakramen Ekaristi yang
menjadi santapan rohani (Yoh 6: 51-56). Jika rohani kita sakit, atau
kita berdosa, kita dapat disembuhkan melalui pengakuan dosa dalam
sakramen Tobat/ Pengakuan dosa,
di mana melalui perantaraan iman-Nya Tuhan Yesus mengampuni kita (Yoh
20: 22-23). Lalu jika kita terpanggil untuk hidup selibat untuk Kerajaan
Allah, Allah memberikan kuasa untuk melakukan tugas-tugas suci melalui
penerimaan sakramen Tahbisan Suci/ Imamat (Mat 19:12). Sedangkan jika kita terpanggil untuk hidup berkeluarga, kita menerima sakramen Perkawinan (Mat 19:5-6). Akhirnya, pada saat kita sakit jasmani ataupun saat menjelang ajal, kita dapat menerima sakramen Pengurapan orang sakit, yang dapat membawa rahmat kesembuhan ataupun persiapan bagi kita untuk kembali ke pangkuan Allah Pencipta (Yak 5:14).
Pengajaran
tentang adanya tujuh sakramen ini kita terima dari Tradisi Suci, yang
kita percayai berasal dari Kristus. Ketujuh sakramen ini ditetapkan
melalui Konsili di Trente (1564) untuk menolak bahwa hanya ada dua
sakramen Baptis dan Ekaristi menurut pandangan gereja Protestan. Sebagai
umat Katolik, kita mematuhi apa yang ditetapkan oleh Magisterium Gereja
Katolik, sebab mereka -lah penerus para rasul, yang meneruskan doktrin
para rasul dengan kemurniannya.
2.6. Siapa yang Menciptakan Sakramen?
Allah melalui Kristus adalah Pencipta Sakramen.
Sakramen mengandung kuasa yang mencapai kedalaman jiwa seseorang, dan
hanya Allah yang mampu melakukan hal itu. Jadi walaupun disampaikan oleh
para imam, sakramen-sakramen Gereja tersebut merupakan karya Kristus. Kardinal Ratzinger
(sekarang Paus Benedict XVI) menyatakan, dari sisi pandang imam sebagai
penerus para rasul, sakramen berarti, “Aku memberikan apa yang tidak
dapat kuberikan sendiri; aku melakukan apa yang bukan pekerjaanku
sendiri… aku (hanyalah) membawakan sesuatu yang dipercayakan kepadaku.”
Jadi
Kristuslah yang oleh kuasa Roh Kudus bekerja melalui para imam-Nya di
dalam sakramen-sakramen. Pada sakramen Pembaptisan, Kristus sendirilah
yang membaptis, demikian juga pada sakramen Pengakuan Dosa, Kristus
sendiri yang mengampuni melalui imam-Nya, dan di dalam Ekaristi, Ia
sendiri yang memberikan Tubuh dan DarahNya untuk menjadi santapan rohani
kita, sehingga kita dipersatukan dengan-Nya dan dengan sesama umat
beriman di dalam ikatan persaudaraan sejati.
2.7. Akibat Utama yang Dihasilkan oleh Sakramen
Pertama, adalah rahmat pengudusan.
Rahmat ini merupakan pemenuhan janji Kristus yang dituliskan oleh Rasul
Paulus, bahwa Kristus mengasihi Gereja-Nya dan menyerahkan diri-Nya
baginya untuk menguduskannya, menyucikannya dengan air dan firman (Ef
5:26). Rahmat ini diberikan pada setiap orang untuk hidup bagi Tuhan,
dan kepada Gereja secara keseluruhan untuk meningkatkan kasih dan misi
pewartaan.
Kedua, dengan menerima dan mengambil bagian di dalam sakramen, kita berpartisipasi di dalam kehidupan Yesus, dan melalui Yesus kita berpartisipasi di dalam kehidupan Allah Tritunggal Maha Kudus. Keikutsertaan kita dalam kehidupan Yesus, terutama dalam Misteri Paska ini mengantar kita kepada keselamatan kekal.
Manusia melalui usahanya sendiri tidak dapat mencapai keselamatan,
karena keselamatan pertama-tama karunia Allah (lih. Ef 2:5,8) yang kita
terima melalui Yesus Kristus. Sebab oleh akibat dosa asal kita terpisah
dari Tuhan, dan Kristus mempersatukan kita kembali dalam kehidupan-Nya
melalui sakramen-sakramen. Melalui sakramen kita disatukan dengan Tuhan,
dan diubah menjadi menyerupai Dia; tubuh kita yang fana menerima yang
ilahi dan hati kita diisi oleh kebajikan-kebajikan yang berasal dari
Allah sendiri, terutama dalam hal iman, pengharapan dan kasih.
Ketiga, ketiga sakramen yaitu Pembaptisan, Penguatan dan Tahbisan suci, memberikan ‘karakter’ yang terpatri di dalam jiwa
seseorang yang menerima sakramen tersebut. Pembaptisan menjadikannya
anak angkat Allah, Penguatan menjadikannya sebagai ’serdadu’ Kristus,
dan Tahbisan suci menjadikannya imam yang diberi kuasa untuk menguduskan
dan menerimakan sakramen-sakramen. Karena karakter khusus inilah, maka
ketiga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali saja.
Agar kita menerima “buah” yang berguna melalu sakaramen adalah kita harus mengetahui, menghargai dan menghormati rahmat ilahi
yang diberikan melalui sakramen-sakramen ini. Lalu, karena kita
mengetahui bahwa Allah sendiri yang memberikan rahmat-Nya, maka kita
harus memperlakukan rahmat itu dengan hormat dan dengan semestinya, dan
dengan sikap yang benar, terutama dalam sakramen Tobat dan Ekaristi,
agar kita dapat menghasilkan buahnya. Kita harus mempersiapkan diri dan
berpartisipasi pada saat kita menerima sakramen-sakramen dalam perayaan
liturgi Gereja.
Kita
mengetahui bahwa Yesuslah yang memerintahkan pemberian
sakramen-sakramen tersebut melalui ajaran-ajaranNya. Karena berasal dari
Kristus, rahmat itu adalah karunia yang sempurna,
yang diberikan oleh kuasa Roh Kudus, yang dapat menembus jiwa untuk
mendatangkan kesembuhan rohani, dan mendatangkan keselamatan yang tak
ternilai harganya.
2.8. Dasar Biblis Sakramen-Sakramen dalam Gereja Katolik
Ketujuh
sakramen (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Tahbisan,
Perkawinan, dan Urapan orang sakit) merupakan tanda yang menyampaikan
rahmat dan kasih Tuhan secara nyata. Hal ini merupakan pemenuhan janji
Kristus yang tidak akan pernah meninggalkan kita sebagai yatim piatu
(Yoh 14:18). Melalui sakramen tersebut, Allah mengirimkan Roh Kudus-Nya
untuk menyembuhkan, memberi makan dan menguatkan kita.
Keberadaan sakramen sebenarnya telah diperkenalkan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi pada saat itu hanya merupakan simbol saja -seperti sunat dan perjamuan Paskah (pembebasan Israel dari Mesir)- dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan. Kemudian Kristus datang, bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama melainkan untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak menghapuskan simbol-simbol itu tetapi menyempurnakannya, dengan menjadikan simbol sebagai tanda ilahi. Sunat disempurnakan menjadi Pembaptisan, dan perjamuan Paskah menjadi Ekaristi. Dengan demikian, sakramen bukan hanya sekedar simbol semata, tapi menjadi tanda yang sungguh menyampaikan rahmat Tuhan.
Keberadaan sakramen sebenarnya telah diperkenalkan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi pada saat itu hanya merupakan simbol saja -seperti sunat dan perjamuan Paskah (pembebasan Israel dari Mesir)- dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan. Kemudian Kristus datang, bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama melainkan untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak menghapuskan simbol-simbol itu tetapi menyempurnakannya, dengan menjadikan simbol sebagai tanda ilahi. Sunat disempurnakan menjadi Pembaptisan, dan perjamuan Paskah menjadi Ekaristi. Dengan demikian, sakramen bukan hanya sekedar simbol semata, tapi menjadi tanda yang sungguh menyampaikan rahmat Tuhan.
Di
sini kita melihat bagaimana Allah tidak menganggap benda- benda
lahiriah sebagai sesuatu yang buruk, sebab di akhir penciptaan Allah
melihat semuanya itu baik (Gen 1:31). Bukti lain adalah Kristus sendiri
mengambil rupa tubuh manusia (yang termasuk ‘benda’ hidup) sewaktu
dilahirkan ke dunia (lih. Ibr 10:5) Kita dapat melihat pula bahwa di
dalam hidupNya, Yesus menyembuhkan, memberi makan dan menguatkan
orang-orang dengan menggunakan perantaraan benda-benda, seperti tanah
sewaktu menyembuhkan orang buta (Yoh 9:1-7); air sewaktu mengubahnya
menjadi anggur di Kana (Yoh 2:1-11), roti dan ikan dalam mukjizat
pergandaan untuk memberi makan 5000 orang (Yoh 6:5-13), dan roti dan
anggur yang diubah menjadi Tubuh dan DarahNya di dalam Ekaristi (Mat
26:26-28). Jika Yesus mau, tentu Ia dapat melakukan mujizat secara
langsung, tetapi Ia memilih untuk menggunakan benda-benda tersebut
sebagai perantara. Janganlah kita lupa bahwa Ia adalah Tuhan dari segala
sesuatu, dan karenanya Ia bebas menentukan seturut kehendak dan
kebijaksanaan-Nya untuk menyampaikan rahmatNya kepada kita.
a. Sakramen pembabtisan
Akibat
dosa asal, kita lahir di dunia dengan kehilangan kemuliaan Allah (Rm
3:23), sehingga kita tidak mungkin bersekutu dengan Allah. Yesus telah
turun ke dunia untuk membawa manusia kembali ke pangkuan Allah. Yesus
mengatakan bahwa seseorang harus “dilahirkan kembali dalam air dan Roh”
(Yoh 3:5), yaitu di dalam Pembaptisan, di mana seseorang dilahirkan
kembali secara spiritual. Oleh kelahiran baru di dalam Pembaptisan ini
kita diselamatkan (lih. 1Pet 3:21), karena di dalam Pembaptisan kita
dipersatukan dengan kematian Kristus untuk dibangkitkan bersama-sama
dengan Dia (Rom 6:5).
Jadi Sakramen Pembaptisan mendatangkan dua macam berkat, yaitu penghapusan dosa dan pencurahan Roh Kudus beserta karuniaNya ke dalam jiwa kita, yang memampukan kita untuk hidup baru (Acts 2:38). Oleh Pembaptisan, kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan digabungkan ke dalam Gereja yang menjadikan kita anggota Tubuh Kristus.
Jadi Sakramen Pembaptisan mendatangkan dua macam berkat, yaitu penghapusan dosa dan pencurahan Roh Kudus beserta karuniaNya ke dalam jiwa kita, yang memampukan kita untuk hidup baru (Acts 2:38). Oleh Pembaptisan, kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan digabungkan ke dalam Gereja yang menjadikan kita anggota Tubuh Kristus.
b. Sakramen ekaristi
Kristus
mengasihi Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan
Darah-Nya sendiri kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan
Ekaristi. Ekaristi merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska
Perjanjian Lama, yang ditandai dengan kurban anak domba yang membebaskan
orang-orang Israel dari maut. Dalam Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba
Allah yang menjadi kurban untuk menghapus dosa-dosa kita, dan karena itu
kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan kita dari kematian
Kristus mengasihi Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan Ekaristi. Ekaristi merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska Perjanjian Lama, yang ditandai dengan kurban anak domba yang membebaskan orang-orang Israel dari maut. Dalam Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba Allah yang menjadi kurban untuk menghapus dosa-dosa kita, dan karena itu kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan kita dari kematian kekal.
Yesus sendiri berkata, “Jika kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, engkau tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53). Maka, dengan menyambut Ekaristi, kita melaksanakan ajaran Yesus untuk memperoleh hidup yang kekal. Sakramen ini ditetapkan oleh Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya, ketika Ia berkata kepada para rasulNya, “Ambillah, makanlah, inilah TubuhKu… Minumlah…inilah darahKu yang ditumpahkan bagiMu.. ..perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19-29,Mat Mat26: 28, Mrk 14:22-24).
Kristus mengasihi Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan Ekaristi. Ekaristi merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska Perjanjian Lama, yang ditandai dengan kurban anak domba yang membebaskan orang-orang Israel dari maut. Dalam Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba Allah yang menjadi kurban untuk menghapus dosa-dosa kita, dan karena itu kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan kita dari kematian kekal.
Yesus sendiri berkata, “Jika kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, engkau tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53). Maka, dengan menyambut Ekaristi, kita melaksanakan ajaran Yesus untuk memperoleh hidup yang kekal. Sakramen ini ditetapkan oleh Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya, ketika Ia berkata kepada para rasulNya, “Ambillah, makanlah, inilah TubuhKu… Minumlah…inilah darahKu yang ditumpahkan bagiMu.. ..perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19-29,Mat Mat26: 28, Mrk 14:22-24).
Gereja
Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali
untuk selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di
dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan
kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk mendatangkan buah-buahnya, yaitu
penebusan dan pengampunan dosa. Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang
mengurbankan Diri adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan
kematian, sehingga kurbanNya dapat dihadirkan kembali, tanpa berarti
diulangi.
Melalui perkataan imam yang dikenal sebagai konsekrasi, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita harus memeriksa diri sebelum menyambut Ekaristi, sebab “barangsiapa dengan tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan…dan barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1Kor 11:27-29). Dari pengajaran Rasul Paulus ini, kita mengetahui bahwa Kristus sungguh hadir di dalam Ekaristi. Yesus memakai segala cara untuk menyatakan bahwa Ia mau tinggal bersama kita, untuk menyertai dan menguduskan kita, karena sungguh besarlah kasihNya kepada kita sebagai anggota Gereja-Nya.
Melalui perkataan imam yang dikenal sebagai konsekrasi, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita harus memeriksa diri sebelum menyambut Ekaristi, sebab “barangsiapa dengan tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan…dan barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1Kor 11:27-29). Dari pengajaran Rasul Paulus ini, kita mengetahui bahwa Kristus sungguh hadir di dalam Ekaristi. Yesus memakai segala cara untuk menyatakan bahwa Ia mau tinggal bersama kita, untuk menyertai dan menguduskan kita, karena sungguh besarlah kasihNya kepada kita sebagai anggota Gereja-Nya.
c.Sakramen penguatan
Tuhan
memperkuat jiwa kita juga dengan Sakramen Penguatan. Hal ini kita lihat
dari kisah para rasul yang, walaupun telah menerima rahmat Tuhan,
mereka dikuatkan secara istimewa pada hari Pentakosta, ketika Roh Kudus
turun atas mereka. Atas karunia Roh Kudus ini para rasul dapat dengan
berani mengabarkan Injil dan melaksanakan misi yang Yesus percayakan
kepada mereka. Karunia Roh Kudus ini diturunkan melalui penumpangan
tangan para rasul (Kis 8:14-17) yang kemudian juga dilanjutkan oleh para
penerus mereka (para uskup) kepada Gereja-Nya. Melalui Sakramen
Penguatan inilah kita dikuatkan dalam iman untuk menghadapi tantangan
hidup
d. Sakramen pengakuan/tobat
Allah
mengetahui bahwa di dalam perjalanan iman, kita dapat jatuh di dalam
dosa. Maka Ia menganugerahkan Sakramen Pengakuan/ Tobat pada kita,
karena Allah selalu siap sedia untuk mengangkat kita dan mengembalikan
kita ke dalam persekutuan dengan Dia. Di dalam sakramen ini kita
mengakukan dosa kita di hadapan imam, karena Yesus telah memberi kuasa
kepada para imamNya untuk melepaskan umatNya dari dosa. Setelah
kebangkitanNya, Yesus berkata kepada para rasulNya, “Terimalah Roh
Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau
kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh
20:22-23). Melalui Sakramen Tobat ini kita menerima pengampunan dosa
dari Tuhan dan juga rahmatNya, yang membantu kita untuk menolak godaan
dosa di waktu yang akan datang.
e. Sakramen perkawinan
Sebagian
besar orang dipanggil untuk kehidupan berumah tangga. Melalui Sakramen
Perkawinan, Tuhan memberikan rahmat yang khusus kepada pasangan yang
menikah untuk menghadapi bermacam tantangan yang mungkin timbul,
terutama sehubungan dengan membesarkan anak-anak dan mendidik mereka
untuk menjadi para pengikut Kristus yang sejati.
Dalam sakramen Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka. Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai saksi dari pihak Gereja.
Sakramen Perkawinan adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan sakramental Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3, 1Kor 7:10-11).
Dalam sakramen Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka. Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai saksi dari pihak Gereja.
Sakramen Perkawinan adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan sakramental Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3, 1Kor 7:10-11).
f.Sakramen tabisan
Pada
zaman Perjanjian Lama, meskipun bangsa Israel telah dikatakan sebagai
‘kerajaan imam dan bangsa yang kudus’ (Kel 19:6), Allah tetap memanggil
para pria tertentu untuk menjalankan tugas sebagai imam (Kel 19:22). Hal
yang sama terjadi di dalam Perjanjian Baru, sebab walaupun semua orang
Kristen dikatakan sebagai ‘imamat yang rajani’ (1Pet2:9), namunYesus
memanggil secara khusus beberapa orang pria untuk menjalankan tugas
pelayanan sebagai imam. Melalui Tahbisan ini, para imam diangkat untuk
menjadi pelayan Gereja untuk menjalankan tugas-tugas Kristus, yaitu
sebagai imam untuk menguduskan, nabi untuk mengajar dan raja untuk
memimpin dan melayani umat-Nya. Di atas semua ini tugas yang terpenting
adalah mengabarkan Injil dan menyampaikan sakramen-sakramen.
g. Sakramen urapan orang sakit
Alkitab
mengatakan agar jika kita sakit, maka baiklah kita memanggil penatua
Gereja untuk mendoakan dan mengurapi kita dengan minyak di dalam nama
Tuhan. Dan doa yang didoakan dengan iman ini akan menyelamatkan kita
yang sakit dan mengampuni dosa kita (Yak 5:14-15). Oleh karena itu,
sakramen Urapan orang sakit ini tidak hanya dimaksudkan untuk menguatkan
kita di waktu sakit, tetapi juga untuk membersihkan jiwa kita dari
dosa.
2.9. Istilah-Istilah dalam Sakramen
2.9.1. Sacramentum tantum, res et sacramentum dan res tantum
Sacramentum tantum, res et sacramentum dan res tantum adalah tiga buah realitas yang ada dalam semua sakramen.
Sacramentum tantum adalah tanda sakramental (sacramental sign); sacramentum et res adalah kenyataan sakramental (sacramental reality), dan res tantum adalah realitas yang dinyatakan oleh sakramen tersebut (the reality that the sacrament pointed to).
St. Thomas Aquinas menyimpulkan tentang realitas sakramen, dengan mengatakan, “Sakramen- sakramen menambahkan dua hal di dalam jiwa. Pertama adalah realitas sakramental
seperti karakter atau semacam penghiasan di jiwa; dan kedua, adalah
sebuah kenyataan/ realitas saja, yaitu adalah rahmat.” (St. Thomas
Aquinas, On Book IV of the Sentences, 1, 1, 4)
Pada mulanya, istilah sacramentum mengacu kepada apa yang kelihatan, seperti ritus dan benda- benda yang kudus. Namun St. Agustinus juga mengajarkan bahwa sacramentum
juga mengacu kepada hal- hal yang tidak kelihatan, yaitu “meterai” di
jiwa, seperti pada “meterai baptisan”. Maka pada jaman skolastik di abad
pertengahan, istilah sacramentum dipahami sebagai tidak terbatas pada apa yang kelihatan tetapi juga kepada apa yang dapat diketahui.
Maka penerapannya dalam sakramen adalah:
a Sacramentum tantum: tanda lahiriah/ materia
yang ada dalam konteks ritus tersebut. Materia ini menandai misteri
ilahi yang dirayakan dalam sakramen tersebut. Dalam sakramen
Pembaptisan, materia ini adalah air, dan dalam sakramen Ekaristi, materianya adalah roti dan anggur yang dikonsekrasikan.
b. Res et Sacramentum: realitas atau misteri yang diakibatkan dan ditandai oleh sacramentum tantum tersebut. Realitas ini dalam beberapa sakramen (Baptis, Penguatan dan Imamat) memberikan tanda yang tak terhapuskan/ indelible character. Dalam sakramen Baptisan, realitas ini adalah meterai Roh Kudus; di dalam sakramen Ekaristi, adalah kehadiran yang Kristus (Tubuh dan Darah-Nya) yang nyata di dalam Ekaristi.
c. Res tantum : rahmat rohani, yang ditandai dan diakibatkan oleh res et sacramentum.
Rahmat ini sifatnya menetap di dalam jiwa orang yang menerimanya,
asalkan tidak ada penghalang terhadap buah- buah Roh Kudus (penghalang
ini adalah dosa berat). Di dalam sakramen Baptis, res tantum adalah rahmat kelahiran kembali di dalam Roh Kudus; di dalam sakramen Ekaristi, rahmat ini adalah partisipasi umat yang menerima Ekaristi di dalam wafat dan kebangkitan Kristus dan buah- buahnya.
2.9.2. Ex opera operato dan ex opere operantis
a. Ex opere operato
Terjemahan bebasnya adalah “dari pekerjaan yang sudah terjadi (from the work already done)”.
Maksudnya adalah, jika kodrat komunikatif sakramen- sakramen ini telah
dipahami, maka sebuah sakramen yang telah dilakukan dengan benar dapat
menyampaikan rahmat Tuhan, dan tidak tergantung dari iman maupun
karakter moral dari pelayan sakramen maupun orang yang menerima
sakramen. Rahmat ini mengalir dari penetapan ilahi yang dinyatakan dalam sakramen.
Meskipun diperlukan disposisi hati yang layak untuk menerima rahmat melalui sakramen- sakramen, disposisi hati ini bukan merupakan penyebab bagi rahmat itu. Rahmat Tuhan yang diberikan melalui sakramen- sakramen merupakan pemberian cuma- cuma dari Tuhan yang dicurahkan karena kasih Allah sendiri. Dengan demikian penyebab
rahmat itu adalah Allah sendiri, dan bukan disposisi manusia. Prinsip
ini mendasari pemahaman bahwa meskipun perayaan Ekaristi dipimpin oleh
seorang imam yang tidak kudus hidupnya, tetapi efek dari sakramen itu tetap terjadi: yaitu kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi.
b. Ex opere operantis
Istilah ini arti literalnya adalah “dari pekerjaan orang yang bekerja (from the work of the doer)”,
maksudnya adalah kadar rahmat Tuhan yang diperoleh sebanding dengan
usaha/ peran yang dilakukan oleh orang yang terlibat, yaitu kondisi iman
dan moral orang yang bersangkutan. Istilah ini dipakai untuk
membedakannya dengan ex opere operato, yang mengacu kepada kuasa menyaluran rahmat yang melekat di dalam ritus sakramental tersebut, sebagai tindakan dari Kristus sendiri.
Maka istilah ex epere operantis
ini mengacu kepada faktor subyektif yang turut menentukan jumlah rahmat
yang diterima oleh seseorang jika ia melakukan tindakan kesalehan.
Misalnya dalam penggunaan sakramentali
(seperti rosario, medali, skapular), berpuasa atau untuk memperoleh
indulgensi, berkat- berkat yang diterima tergantung dari iman dan kasih
kepada Tuhan yang dengannya sakramentali
digunakan, atau sebuah doa/ perbuatan baik tersebut dilakukan. Demikian
juga dengan pada saat kita mengikuti perayaan liturgi, disposisi batin
yang baik dibutuhkan agar kita dapat memperoleh buah- buahnya secara
penuh. Hal ini disebutkan dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium, 11:
“Akan
tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu
datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi.
Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta
bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja
menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sakramen
adalah tanda yang kelihatan dari rahasia/ misteri Kristus -yang tak
kelihatan- yang bekerja di dalam Gereja-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Betapa
nyatanya ‘rahasia’ ini diungkapkan di dalam sakramen-sakramen
Gereja, terutama di dalam Ekaristi. Karena itu dalam sekreman Allah
yang tak kelihatan sungguh hadir dalam bentuk symbol-simbol sakramen.
Dalam
Gereja katolik terdapat tujuh sakramen suci, yaitu: sakramen permandian
(babtis), sakramen tobat (pengakuan), sakramen ekaristi, sakramen
krisma, sakramen perkawinan (nika), sakramen imamat, dan sakramen minyak
suci. Sakramen-sakramen ini memiliki manfaat masing-masing dalam
kehidupan umat katolik. Penerimaan sakramen bukan hanya dipandang
sebagai kriteria untuk menjadi orang katolik, tetapi lebih pada rahmat
yang terima dari sakramen itu. Artinya bahwa sesungguhnya sakramen
adalah symbol kehadiran Allah yang nyata dan tak kelihatan yang menjadi
sumber inspirasi hidup umat katolik. Karena itu sakramen merupakan salah
satu bentuk kecintaan Allah terhadap manusia yang mana manusia harus
betul-betul menyadari akan kehadiran Allah dengan sungguh-sungguh
mempersiapkan diri secara seutuhnya dalam penerimaan sakramen tersebut.
Sakramen
memiliki buah-buah rahmat yang sesunguhnya sangat dibuthkan oleh
manusia yang percaya akan kehadiran Allah dalam sakramen tersebut.
Sakramen dalam Gereja katolik memiliki dasar bibilis yang benar dan
tidak diragukan lagi akan buah-buah rahmat tersebut. Iman merupakan
salah satu tuntutan mutlak dari setiap orang dalam penerimaan sakramen.
Sebab, dengan iman sesungguhnya buah-buah ramat itu akan kita peroleh
dalam sakramen itu.
Dengan
penerimaan sakramen, sesungguhnya kita sudah berpartisipasi dalam
kehidupan kristus untuk mewartakan kabar gembira di dunuia ini. Sebagai
missal kita menerima sakramen pembatisan kita sungguh-sungguh menjadi
pengikut kristus dan siap menjalankan tugas dari kristu. Bisa dikatakan
sakramen adalah sebagai salah satu perjanjian yang luhur antara maanusia
dengan kristus dalam menjalankan tugas kita di dunia ini.
3.2. Saran
Sebagai
orang Kristen kita semua harus sadar akan eksistensi kita, yang mana
kita harus melaksanakan semua kewajiban kita sebagai pengikut kristus.
Menjadi pengikut kristus berarti kita siap untuk menjalankan tugas yang
akan diembankan kepada kita. Sakramen merukan salah satu symbol
perjanjian kita dengan kristus dalam menjalankan tugas tersebut. Karena
itu kita harus siap secara iman dalam menerima sakramen tersebut.
Persiapan itu kita tunjukan lewat doa dan perbuatan yang mencerminkan
kita adalah pengikut kristus yang setia.
Sebagai
umat kristus kita tidak boleh menganggap sakramen hanya sebagai alat
atau tanda bahwa kita benar-benar orang Kristen. Tidak juga menganggap
kalau sakramen sebagai indicator bahwa kita sudah memenuh tuntutan
gereja yang sifatnya fomalitas saja. Kita harus lebih memaknai sakramen
sebagai keselamatan kita sebagai pengikut kristus. Keselamatan yang
benar-benar nyata dan tak kelihatan oleh mata kepala secara fisik. Nyata
berarti ada dan dapat dilihat oleh iman kita. Sebab buah rahmat dari
sakramen hanya ada dalam iman dan kepercayaan akan sakramen sebagai symbol keselamatan dan kehadiran Allah.
Sebagai
umat Kristen juga seharusnya kita saling menyadiri akan sesama kita
yang kurang paham akan sakramen dalam kehidupan kita. Tugas kita semua
ialah memberitaukan kepada sesama kita yang kurang antusias dalam
penerimaan sakramen. Tindakan nyata kita akan membawa kesan yang baik
bagi orang lain yang ingin mendalami sakramen dalam gerja katolik. “Mari kita satukan tekan membangun iman melalu sakramen”
Langganan:
Postingan (Atom)